STATUS ANAK LUAR KAWIN
OLEH
NIA ASTARINA MAS’UD (B11109384)
UMI KHAERAH PATI (B11109385)
SANDI PUTRA (B11109386)
LISA INDRIYANI (B11109387)
RINSY NILAWATI (B11109388)
NITA ISRINA DEWI (B11109389)
ST. ZAM ZAM (B11109390)
FIRMAN (B11109391)
WEDDY (B11109392)
MUH. ADY SURYADI (B11109393)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur pertama-tama kita panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas kehendak-Nya sehingga sampai saat ini kita masih diberikan nikmat kesehatan serta kesempatan untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tak lupa pula kita kirimkan shalawat dan taslim atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW selaku nabi yang telah membawa cahaya kedunia kegelapan.
Akhir kata kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini. Kami juga akan merasa senang hati menerima kritik dan saran pembaca yang kiranya suatu saat kami dapat jadikan suatu tolak ukur guna kesempurnaan pada pembuatan makalah berikutnya.
Makassar, 14 Mei 2010
DAFTAR ISI
Halaman judul ……………………………………………………………
Kata pengantar ……………………………………………………………
Daftar isi ……………………………………………………………
Pendahuluan ……………………………………………………………
Pembahasan ……………………………………………………………
Penutup ……………………………………………………………
Daftar pustaka ………………………………………...…………………
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Istilah “anak haram” pada prinsipnya penulis tidak sependapat dengan istilah tersebut, karena di samping istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar kurang nyaman bagi yang bersangkutan. Bukankah, kelahiran anak di dunia ini tidak pernah di kehendaki oleh anak itu sendiri?Kelahirannya semara-mata merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk menyahkan anak tersebut dengan menyebutnya sebagai anak haram. Semestinya orangtuanya yang bersalah. Terhadap anak tersebut lebih tepatnya dikatakan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan.
Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya da keluarga ibunya. Ketentuan ini dipertegas pula dengan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sebagai konsekuensinya akta kelahiran anak tersebut hanya mencantumkan anak dari ibu kandungnya. Juga tentang hak waris, ia hanya bisa menjadi ahli waris dari ibu dan keluarga ibu. Sekalipun akta kelahirnya terkesan kurang lengkap, namun sesungguhnya memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta kelahiran dari anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Dalam praktiknya akta tersebut bisa dipergunakan untuk berbagai kepentingan, misal untuk melanjutkan studi, melamar pekerjaan, dan sebagainya. Bila suatu ketika ayah biologis mengakui bahwa itu anaknya, lalu menikahi ibu anak tersebut, maka akan memiliki status keperdataan yang lengkap, sehingga akta anak tersebut bisa ditingkatkan menjadi anak ayah dan ibu. Sejalan dengan ini Pasal 272 KUHP Perdata memberikan rumusan, bilamana seorang anak dibenihkan di luar perkawinan, menjadi anak sah apabilasebelum perkawinan orang tuanya telah mengakui anak luar nikah itu sebagai anaknya. Pengakuan ini membawa serta akibat yuridis, di antaranya tentang tentang kewajiban dalam pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, menjadi ahli waris dari ayah dan ibu serta keluarga ayah dan ibu dan sebagainya.
Anak luar kawin ialah anak yang tidak mempunyai kedudukan yang sempurna seperti anak sah. Dikatakan anak luar kawin, oleh karena asal-usulnya tidak didasarkan pada hubungan yang sah yaitu hubungan antara ayah dan ibunya, yang sebagai suami istri berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan mereka atau oleh mereka terhadap anak adoptifnya.
B.W. kita, yang masih berlaku hingga sekarang, menentukan bahwa anak yang dilahirkan dari seorang wanita tanpa adanya perkawinan ibunya dianggap tidak mempunyai ayah maupun ibu. Lain halnya dengan B.W. Belanda yang sejak tahun 1947 dengan Undang-undang 10 Juli 1947 yang berlaku mulai tanggal 1 September 1948 (terkenal sebagai Herzieningswet) menentukan bahwa dengan seorang anak timbullah hubungan-hubungan perdata antara ibu dan anak luar kawinnya. Tidaklah demikian halnya dahulu yang menentukan, bahwa anak-anak yang dibenihkan karena “overspel” atau sumbang (bloedschennis/incest), sama sekali tertutup hubungan perdatanya, baik dengan ibu maupun ayah biologisnya.
Menurut Conventie Brussel 12 September 1962 ditentukan bahwa semua dilahirkan pada atau setelah tanggal 23 April 1964, sebagai anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, ttidak dikecualikan apakah anak itu hasil “overspel” atau hasil perbuatan sumbang ibunya.
Demikian pula Buku 1 B.W. baru Nederland, yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1970, pasal 221 ayat 1-nya berbunyi sebagai berikut: “Een onwettig kind heft de staat van natuurlijk kind van de moeder. Het verkrijgt door de erkenning de staat van natuurlijk kind van de vader” (Seorang anak tidak sah mempunyai status sebagai anak wajar daripada ibunya). Ia memperoleh status sebagai anak wajar dengan adanya pengakuan oleh ayahnya. Pasal 221 ayat 2 berbunyi : “Onder de vader van een natuurlijk kind wordt verstaan, hijdie het kind heeft erkend” (Yang dimaksud dengan ayah seorang anak wajar, ialah ia yang mengakui anak tersebut). Dan pasal 222 berbunyi : “Een onwettig kind komt met zijn geboorte en met zijn vader op het tijdstip van erkenning.” (Seorang anak tidak sah, mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ibunya sejak saat kelahirannya, dan dengan ayahnya pada saat dilakukannya pengakuan).
Kiranya ketentuan yang terakhir ini yang memberikan inspirasi pada perancangan undang-undang kita untuk dimasukkannya ide tersebut dalam pasal 43 UU 1/1974.
Kembali pada ketentuan pasal 280 B.W., bahwa dengan pengakuan ibunya barulah tercipta hubungan-hubungan perdata antara ibu dan anak, hal itu bagi kita adalah sangat aneh, oleh karena dengan fakta kelahiran anak tersebut dengan sendirinya terciptalah hubungan-hubungan hukum antar ibu dan anak. Ketentuan dalam B.W. merupakan suatu konstruksi yuridis (juridische constructie).
Dalam hukum Islam, pengakuan terhadap anak luar kawin oleh ibunya tidak diperlukan, hubungan antara ibu dan anak tercipta dengan sendirinya. Sedangkan terhadap ayahnya sama sekali, tidak ada hubungan hukum, maka antara mereka tidak ada hubungan waris-mewaris.
Hukum Islam mensyaratkan untuk keabsahan kelahiran suatu jangka waktu minimum 6 bulan, sebagaimana bila ada yang dilahirkan dalam jangka waktu tersebut di atas, dianggap sebagai anak-anak yang tidak sah dan tidak dimungkinkan untuk diakui sebagai anak sah ayahnya.
Hukum adat pada umumnya tidak pernah mempersoalkan tentang jangka waktu antara kelahiran anak dengan pelangsungan perkawinan orang tuanya. Setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan adalah anak sah.
Dalam suatu perkawinan darurat (nikah tambelan) menurut hukum Islam, anak yang dilahirkan bukanlah anak ayahnya, oleh karena itu menurut pengadilan agama (Priesterraad), anak tersebut tidak berhak mewaris.
Pasal 43 ayat 1 UU 1/1974 mengatakan : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Dan ayat 2-nya mengatakan : “Kedudukan anak tersebut dalam ayat (1) di atas, selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hingga sekarang peraturan pemerintah yang akan mengatur tentang kedudukan anak luar kawin, belum terlaksana. Dengan keadaan seperti ini, maka sulitlah untuk memecahkan persoalan-persoalan yang menyangkut kehadiran anak luar kawin itu. Misalnya, dalam bidang pewarisan : apakah anak tersebut akan mewaris harta peninggalan ibunya sebesar seperti anak sah ataukah seperti anak luar kawin yang diakui. Juga bilamana neneknya meninggal dunia sedang ibunya telah mendahului meninggal, dapatkah ia mengganti kedudukan ibunya (plaatsvervullen)? Andaikata ibunya menolak warisan nenek anak tersebut, dapatkah anak tersebut mewaris dengan kekuatan sendiri (uit eigenhoofde erven)? Hal demikian kiranya dapat dipecahkan dengan yurisprudensi. Demikianlah bagi mereka yang sampai kini hukum warisnya masih diatur dengan ketentuan-ketentuan B.W.
Sedangkan dalam hukum adat yang hukum keluarganya bersistem parental, kiranya tidak member kesulitan. Oleh karena anak tersebut dapat mewaris secara penuh dari ibunya maupun menggantikan kedudukan ibunya dalam mewaris dari neneknya.
Menurut ketentuan pasal 280 B.W. yang boleh diakui adalah anak-anak luar kawin, kecuali anak-anak hasil “overspel” atau hasil perbuatan sumbang (pasal 283 B.W.). Dengan anak-anak luar kawin yang disebut dalam pasal 280 B.W. yang dimaksudkan hanyalah anak luar kawin dalam pengertian sempit. Di samping itu terhadap anak-anak sumbang hanya boleh diakui dalam akta perkawinan ayah dan ibunya, bilamana perkawinannya itu mendapat dispensasi dari Menteri Kehakiman.
Oleh karena undang-undang tidak mengadakan ketentuan, kapan seorang anak luar kawin boleh diakui, maka boleh dianggap bahwa anak itu dapat diakui sebagai anaknya dalam usia berapapun, tanpa ada batasan. Berhubung dengan ketentuan pasal 2 B.W. bahwa anak yang masih dalam kandungan seorang wanita dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan anaknya menuntutnya, dapat disimpulkan, bahwa anak yang masih dalam kandunganpun dapat diakui pula. Juga pengakuan terhadap seorang anak yang telah meninggal duniapun tidak dilarang oleh undang-undang, maka dengan demikian harus dianggap dibolehkan. Pengakuan yang demikian tiada tanpa kepentingan, bilamana anak yang telah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan.
Sehubungan dengan adanya ketentuan pasal 43 UU 1/1974, maka pengakuan hanya diperlukan dari sang ayah dan hal ini hanya dilakukan dengan seizing ibunya, sepanjang ibunya masih hidup (pasal 284 ayat 1 dan 2 B.W.). Sedangkan ketentuan pasal 284 ayat 3 yang menyebutkan bahwa pengakuan seorang ayah terhadap anak luar kawinnya, yang ibunya termasuk golongan bumiputera atau yang dipersamakan dengan bumiputera, maka hubungan keperdataan antara anak dan ibunya menjadi putus. Ayat ini secara tegas harus kita nyatakan tidak berlaku lagi karena bersifat colonial dan diskriminatif.
Akibat-akibat daripada pengakuan anak:
a. terhadap ayah yang mengakui
Dengan pengakuan ayah terhadap anak, terciptalah hubungan-hubungan perdata antara anak dan ayah yang mengakui itu (pasal 280 B.W.). Akibat lebih lanjut dari pengakuan sang ayah ialah bahwa anak-alami tersebut berhak menggunakan nama keluarga sang ayah sebelumnya menggunakan nama keluarga sang ibu. Dengan demikian anak tersebut berhak atas alimentasi dari ayahnya;
b. terhadap sanak keluarga sang ayah
Pada umunya dapatlah dianggap bahwa pengakuan itu hanya menciptakan hubungan antara ayah dan anak; sedangkan hubungan anak tersebut dengan neneknya atau garis ke samping hampir-hampir tida ada. Maka anak tersebut pun tidak berhak memperoleh alimentasi dari neneknya, pun juga sebaliknya. Sebagai halangan perkawinan karena derajat kekeluargaan yang terlalu dekat, maka dalam hal ini anak luar kawin disamakan dengan anak sah.
Sedangkan mengenai prosedur pengakuan anak oleh ayahnya, baik UU 1/1974 maupun PP 9/1975 diam. Maka tiada jalan lain untuk melakukan pengakuan, kecuali dengan peraturan yang telah ada, yaitu ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam B.W.
Untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan orang tuanya tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannya pun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya. Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya.
Anak sah ialah anak yang lahir dari atau sebagai akibat dari perkawinan, sedang anak tidak sah ialah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sering anak di luar perkawinan disebut : anak jadah, anak zinah atau natuurlijke kinderen atau onwettige kinderen, sedang anak sah disebut wettige kinderen.
Sebelumnya perlu dijelaskan apa hubungan hukum itu, ialah hubungan yang diatur oleh hukum, yang mempunyai dua segi yakni : pada satu segi ia merupakan hak, dan pada segi pihak lain ia merupakan kewajiban. Anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan (anak sah), mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan terhadap ayah dan ibunya. Anak di luar nikah (anak tidak sah) tidak mempunyai hubungan hukum atau hubungan keperdataan dengan bapaknya, anak itu hanya mempunyai hubungan hukum atau keperdataan dengan ibunya yang melahirkan.
Akan tetapi menurut perundang-undangan aneh sekali; agar ada hubungan keperdataan antara anak yang dilahirkan di luar perkawinan ibunya, maka ibu harus mengakui anaknya. Tanpa pengakuan tidak ada hubungan keperdataan antara anak dan ibunya; yang berarti, bahwa menurut undang-undang anak itu tidak mempunyai ibu dan bukan anak ibunya.
Peraturan yang aneh itu dan bertentangan dengan logika ini berasal dari Kitab Undang-undang Perdata Belanda, yang dinegeri Belanda sudah dihapus sejak tahun 1947. Di Indonesia, karena Kitab Hukum Perdata Eropa tidak dianggap sebagai undang-undang dan ketentuan-ketentuan itu hanya berlaku jika benar-benar merupakan hukum hidup, maka pasal 280 KUHPerdata sekedar mengenai pengakuan anak oleh ibunya harus dianggap sudah tidak berlaku.
Anak juga manusia dan karenanya menghormati Hak Asasi Anak sama halnya menghormati Hak Asasi Manusia, kerentanan hidup anak mesti dijadikan sebagai patokan utama dalam memosisikan anak sebagai bagian terpenting dalam kehidupan manusia. Pemerintah, masyarakat dan keluarga adalah penyumbang terbesar bagi proses pertumbuhan dan perkembangan anak menuju masa depan anak yang lebih baik. Harus dipahami bahwa komunitas anak merupakan kekuatan terdepan yang tak terpisahkan dengan eksistensi dan masa depan sebuah Negara.
Kedudukan anak didalam hukum Indonesia, sebagai seorang manusia anak juga digolongkan sebagai human rights yang terikat dalam ketentuan-ketentuan Peraturan Perundang-undangan, dan ketentuan dimaksud diletakkan pada anak antara lain :
- Anak yang belum dewasa.
- Anak yang berada dalam perwalian.
- Anak yang tidak mampu melakukan perbuatan hukum.
Sesuai dengan pengertian diatas, maka kedudukan hukum anak, meliputi pengertian
kedudukan anak dari pandangan sistim hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus yaitu sebagai subyek hukum dan meliputi antara lain :
1) Pengertian anak dalam Hak Asasi Manusia.
Di dalam Undang-Undang No.39 tahun 1999, pengertian anak dalam Pengertian Umum pasal 1 ayat 1 disebutkan “ Anak adalah setiap manusia yang berusia dibawa 18 (delapan belas ) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih didalam kandungan, apabila hal tersebut demi kepentingannya “
2) Pengertian Anak dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Didalam Undang-Undang Dasar 1945, pengertian anak adalah seseorang anak harus memperoleh hak –hak, yang kemudian hak-hak tersebut dapat
menjamin Pertumbuhan dan Perkembangan dengan wajar baik secara rohania, jasmania, maupun sosial. Anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial, anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah ia dilahirkan dan anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan denagan wajar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dicantumkan dalam Pasal 34 “ Fakir miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara “
3) Pengertian Anak dalam Hukum Perdata.
Pengelompokan anak menurut pengertian hukum perdata, dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subyek hukum yang tidak mampu, aspek-aspek tersebut sebagai berikut :
a) Status belum dewasa ( batas usia ) status subyek hukum.
b) Hak-Hak Anak didalam hukum perdata.
Dalam Hukum Perdata khususnya pasal 330 ayat 1 Hukum perdata disebut “belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia 21 Tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin …… dst“. Selain daripada itu dalam Hukum Perdata pada pasal 1 KUHPerdata menyebutkan “Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki“.
Dalam hukum warisnya diakui Pasal 862 – 863 KUHPer, yaitu:
- Bersama golongan I : 1/3 bagian anak sah
- Bersama golongan II : ½ harta peninggalan
- Bersama golongan III : ¾ harta peninggalan
4) Pengertian Anak dalam Hukum Pidana.
Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana adalah dalam arti seorang anak yang berstatus dalam subyek hukum, yang seharusnya anak tersebut bertanggung jawab terhadap tindak pidana.
Dan sesuai dengan Undang-Undan No, 12 Tahun 1995 antara lain sebagai berikut :
a) Anak Pidana, adalah anak yang berdasarkan putusan Pengadilan
menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP).
b) Anak Negara adalah anak yang berdasarkan Putusan
Pengadilan diserahkan kepada Negara untuk dididik dan ditanggung oleh negara .
c) Anak Sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh ketetapan Pengadilan untuk dididik di Lembaga Pemasyarakatan.
5) Pengertian Anak dalam Hukum Islam.
Pandangan anak dalam pengertian religius akan dibangun sesuai dengan pandangan Islam yang mempermudah untuk melakukan kajian sesuai dengan konsep-konsep Al’Quran dan hadis Nabi, Islam memandang pengertian anak sebagai sesuatu yang mulia kedudukannya. Pengertian anak yang begitu sempurna dari ajaran Rosullulah, meletakkan kedudukana anak menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya.
Hak-Hak Anak dalam dalam dimensi aqidah pandangan kehidupan agama Islam terdiri dari
a) Surat Al’ Isro ayat 31,“Dan jangan lah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan, kamilah yang akan memberikan rejeki, kepada mereka dan juga kepadamu , sesungguhnya membunuh mereka adalah merupakan dosa yang sangat besar “
b) Surat Al –Baqarah ayat 233, “Hak untuk melindungi anak ketika masih dalam kandungan atau rahim ibu“
c) Surat Al –Baqarah ayat 233, “Hak untuk disusui selama 2 (dua) tahun“
d) Surat Mujaadalah ayat 11, “Hak untuk diberi pendidikan, pembinaan, tuntunan dan akhlak yang mulia“
e) Surat An-nisa ayat 2, 5 dan 10, “Hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang tuanya“
f) Surat Qashash ayat 12, “Anak mendapatkan Hak untuk mendapatkan nafkah dari kedua orang tuanya“
Undang-Undang yang menyangkut Hak Asasi Anak-Anak adalah sebagai berikut :
1. Konvensi Hak Anak PBB Tahun 1989, tanggal 20 Nopember 1989.
2. Deklarasi Hak Anak PBB Tahun 1990,
3. Undang-Undang No.3 Tahun 1997, tentang Peradilan Anak
4. Undang-Undang No.4 Tahun 1979 , tentang Kesejahteraan Anak.
5. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
6. Undang –Undang No.21 Tahun 2007, tentang Perdagangan Orang termasuk anak-anak.
RUMUSAN MASALAH
-
TUJUAN MASALAH
- Untuk
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. 2005. Jakarta: Rineka Citra.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo. Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia. 1986. Surabaya: Airlangga University Pers.
Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. 1987. Jakarta: Intermasa.
Saleh, Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. 1982. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prodjohamidjojo, Martiman. Tanya Jawab UU Perkawinan Peraturan Pelaksanaan. 1991. Jakarta: Pradnya.